REVIEW FILM : A Man Called Ahok, Gue Nangis Sepanjang Film


Hallo temans, i am back!
Apa kabar kalian semua? Semoga dalam keadaan baik-baik saja yah. 

Hari ini, sesuai dengan judulnya saya akan memberikan review serta pengalaman saya selama menonton film A Man Called Ahok karya sutradara Putrama Tata beberapa hari lalu. Tapi, sebelum jauh berbicara soal filmya, hal yang perlu saya luruskan adalah

‘REVIEW YANG SAYA BUAT INI BERDASARKAN PANDANGAN PRIBADI HASIL DARI MENONTON FILM AHOK’

And, let’s jumped to the review!

Film ini diadaptasi dari buku dengan judul yang sama karangan Rudi Valinka.

Film ini saya tonton di salah satu bioskop daerah Jakarta Selatan, walaupun sudah bertengger di bioskop Indonesia hampir satu minggu tapi antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film ini sangat luar biasa. Terbukti, saya sengaja mengambil jadwal nonton paling terakhir, tapi bioskop tetap penuh juga. Mantap!

Film ini akan dibuka dengan tampilan hitam dan teks kalimat-kalimat. Suara Pak Ahok akan kita dengar di awal film ini, yaitu himbauan beliau kepada pendukungnya ketika ia ditahan di Mako Brimob. Mendengar suaranya di awal film seolah kisah ini ingin menyegarkan memori kita semua tentang suara dan gaya bicara Pak Ahok. Dan tangisan rindu saya pecah, mulai dari sini hahaha

Saya belum sempat membaca buku ini, oleh sebab itu saya (dan yang lainnya) pasti berpikir bahwa film ini akan banyak menceritakan mengenai perjalanan karir politik seorang Ahok baik di Belitung Timur maupun di Jakarta. Tapi bagi kalian yang punya anggapan sama dengan saya, maka silahkan kubur hal itu dalam-dalam. Hal mengenai karir politik hanya sebuah pemanis dan tidak terlalu ditonjolkan dalam film ini. Kecuali yah, situasi ketika Ahok menjadi bagian dari pemerintahan dan sikap dia yang tegas seperti kita tahu selama ini, itu memang hadir dan ditunjukkan.

Film ini ternyata lebih memfokuskan perjalanan kehidupan seorang Ahok dari masa kecil hingga menjadi seorang pemimpin. Adalah Kim Nam (Denny Sumargo) yang merupakan ayah dari Ahok menjadi tokoh utama (sebenarnya) dalam film ini. Beliau banyak disoroti dengan berbagai hal. Kim Nam merupakan seorang pengusaha timah yang sangat dermawan dan begitu peduli dengan kehidupan masyarakat sekitar, jadi tidak heran kalau banyak yang meminta bantuan kepadanya sampai membuat si istri menangis karena menanggap bahwa suaminya lebih mementingkan urusan banyak orang dibandingkan keluarganya sendiri.

Well said, Ahok (Daniel Mananta) memang seharusnya menjadi hal yang paling banyak dibicarakan dalam film ini, seharusnya yah bagi saya pribadi. Tapi seperti tadi saya bilang, karena film ini seolah-olah hanya berputar pada Kim Nam maka sosok Ahok rasanya seperti timbul tenggelam. Tidak selesai sih sebenarnya bagi saya. Ini juga karena hampir separuh jalan cerita yang bertumpuan pada kisah Kim Nam. Mungkin saja, maksudnya adalah sebagai penonton kita diajak untuk membuat kesimpulan atau kesepakatan yang sama bahwa Kim Nam yang merupakan ayah Ahok sekaligus menjadi orang yang membentuk Ahok dengan didikannya sebagai orang yang jujur, suka menolong dan bertanggung jawab.

Bagi saya tidak ada perbedaan yang begitu signifikan ketika adanya pergantian pemain film ini di masa muda dan tuanya. Kim Nam yang diperankan secara terpisah oleh Denny Sumargo dan Chew Kin Wah tetap menampilkan sisi tegas dan juga bertanggungjawab terhadap keluarga. Walau ada pertukaran pemain, tapi sosok Kim Nam mampu dibawakan dengan baik dan tidak terasa hilang ketika diperankan secara berbeda oleh kedua aktor ini. Saya bisa bilang, ini adalah karakter yang benar-benar puas bagi saya untuk ditonton. Denny mampu mengeksekusi dengan baik sosok Kim Nam di masa muda.

Cast Ahok ternyata rapih sekali dimainkan oleh kedua aktor yaitu Eric Febrian dan Daniel Mananta punya porsi yang pas. Ketika muda, Ahok digambarkan dengan baik walaupun tidak banyak dialog tapi di masa muda, ceritanya lebih menonjolkan sisi Ahok yang mulai diam-diam membangun rasa kejujuran dan menolong sesama. Sementara ketika sudah dewasa, Ahok digambarkan menjadi seorang yang penuh semangat untuk cita-citanya. Daniel Mananta menjadi begitu memukau saya karena gaya jalan, cara melihat sampai suara yang benar-benar dibuat sama merupakan nilai plus tersendiri. Suara seraknya jadi buat semakin rindu Ahok.

Saya kurang tahu yah kalau di buku bagaimana jalan ceritanya, kehadiran wanita-wanita dalam film ini juga terasa seperti angin segar tapi terlalu kecil. Ibu Ahok  yang diperankan oleh dua aktris yaitu Eriska Rein dan Sita Nursanti tetap menjadi satu kesatuan hanya ada bagian yang saya rasa terlalu monoton ketika tokoh ini diperankan oleh Eriska Rein. Sosok Ibu Ahok menjadi kuat dengan adanya kehadiran Sita Nursanti yang tampil disaat usia tua. Sosok Veronica yang hadir dalam diam di film ini bagi saya membawa sebuah hal yang kurang greget. Mungkin saja ini berkaitan dengan masalah yang ada sehingga tidak ditonjolkan, tapi bagi saya adalah sebuah hal yang baik jika dalam satu atau dua kali biarkan Veronica muncul sebagai sosok pendamping Ahok pada zaman itu. Sehingga kita sebagai penonton tidak bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita yang duduk di samping Yuyun ketika acara makan malam dengan menu steak. Apakah itu Veronica?

Secara keseluruhan film ini hadir untuk mengobati kerinduan para pendukung Ahok ataupun bagi orang yang belum mengenal tokoh ini. Akting dari setiap pemain dalam film ini membawa cerita dan pengalaman menonton yang berbeda bagi kita semua. Nilai-nilai sosial dan rasa cinta keluarga serta tanah air akan begitu kental hadir dalam film ini. Saya bisa bilang, tim produksi sukses menjalankan misi dari film ini. Ini adalah salah satu film yang seharusnya masuk dalam daftar panjang film yang akan kalian tonton. Hal positif lainnya adalah film ini menggunakan teks bacaan yang tentu saja selain sebagai media penerjemah karena ada beberapa dialog yang menggunakan bahasa Cina, teks ini juga membantu teman tuli sehingga dapat menyaksikan film ini juga.  

Saran saya, siapkan tisu yang banyak. Karena lima lembar tisu bagi saya ternyata masih kurang. Entalah, ini rasa rindu saya akan Pak Ahok dan gaya kepemimpinanya atau karena saya rindu dengan Bapa saya sendiri.  

Nah temans, sekian review dari aku. Semoga kalian suka dengan hasilnya. Jangan lupa dibaca, komen dan share ke seluruh sosial media yang kamu punya. Klik tombol subscribe di home dan kalian akan dapat notifikasi setiap aku update.

Salam sayang,
Meylisa Sahan (@akumeylisa_)

Comments

Post a Comment