REVIEW FILM PENDEK : Meousina In Alekot (Terang Itu Indah), Akhir yang Manis!




Hallo temans, i am back!
Semoga kabar kalian baik selalu yah. Seminggu ini saya sangat produktif termasuk banyak menonton beberapa film pendek yang disarankan teman-teman di instagram. Filmya, mostly dari Kefamenanu dan dengan senang hati akan saya review. Salah satunya film pendek ini.

Hari ini, sesuai dengan judulnya saya akan memberikan review pribadi selama menonton film pendek Meousina In Alekot (Terang itu Indah). Tapi, sebelum jauh berbicara soal film ini, hal yang perlu saya luruskan adalah
‘REVIEW YANG SAYA BUAT INI BERDASARKAN PANDANGAN PRIBADI HASIL DARI MENONTON FILM PENDEK MEOUSINA IN ALEKOT (TERANG ITU INDAH)’

And, let’s jump to the review!

Secara garis besar, film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang rumahnya belum ada listrik, sehingga untuk beberapa urusan pekerjaan dan kegiatan rumah tangga yang membutuhkan listrik menjadi terhambat. Hingga suatu saat anak dari keluarga ini yaitu Markus Bifel tidak sengaja mendengar percakapan orangtuanya mengenai listrik tersebut. Akhirnya dia bertekad untuk belajar lebih giat lagi agar suatu saat dapat memberikan fasiltas listrik untuk keluarganya. Apakah cita-cita Markus ini akan terwujud dan keluarganya dapat merasakan listrik? Jangan lupa langsung main ke youtube untuk nonton secara lengkap.

Mengangkat permasalahan tentang belum tersedianya listrik di beberapa wilayah di Timor Tengah Utara, bagi saya pribadi merupakan sebuah ide yang cemerlang. Mungkin akan terdengar klise atau biasa, karena permasalahan ini bukan hal baru. Justru, karena sudah lama namun tidak pernah ada perubahan, maka film ini dapat menjadi sarana menyampaikan aspirasi.

Dibuka dengan adegan menyalakan lampu pelita dengan pemantik, menurut saya adalah sebuah keputusan yang tepat. Statment opening yang khas dan menambah unsur seni dari film ini. Saya suka sekali.

Jalan cerita yang coba dibangun oleh tim produksi menurut saya sudah cukup padat, selain dukungan visual yang bagus dan suara yang jernih, dalam film ini saya tidak merasakan banyak hal yang perlu dipertanyakan atau hal yang membuat saya harus berpikir berkali-kali kenapa ini dan itu. Konsep ceritanya sederhana ditambah menggunakan alur maju dalam bercerita namun isinya cukup untuk menggambarkan kegelisahan masyarakat mengenai listrik.

Saya tidak menemukan banyak hal yang harus di kritisi dalam film ini kecuali, lagi-lagi saya beberapa scene yang dipotong dengan cepat. Saya paham, ini tujuannya untuk menggambarkan secara detail apa yang terjadi, atau misalnya ekspresi muka atau kegiatan yang sedang dilakukan, tapi karena perpindahan antara potongan detail satu dengan yang lain cepat maka ini tentu saja disadari oleh penonton. Saran saya, untuk potongan gambar seperti ini mungkin akan lebih bagus jika durasinya sekitar tiga sampai lima detik untuk pindah ke gambar berikutnya. Saya suka beberapa gambar detail seperti kaki dengan sepatu biru yang akan masuk dapur atau gambar ibu si Markus yang sedang melihat anaknya, itu bagus dengan komposisi yang pas hanya bagi saya potongannya cukup cepat. Oke, bisa jadi ini selera saya.

Akhir cerita yang manis. Markus akhirnya keluar sebagai pemenang dalam lomba rakit komponen listrik (kalau saya tidak salah) dan memenangkan hadiah utama berupa uang tunai. Nah, disini saya suka idenya. Biasanya, beberapa penulis memutuskan untuk mengembangkan cerita seperti ini Markus akan menerima uang itu, lalu dia sendiri yang akan menyerahkan uang itu ke orangtuanya dan mengajak mereka untuk memasang listrik ke rumahnya. Tapi di film ini tidak, jalan ceritanya diubah. Markus langsung saja minta hadiahnya di tukarkan dengan pemasangan listrik. Ini ide baru dan segar.

Tapi, tetap ada yang sedikit mengusik saya. Ketika laptop muncul sebagai hadiah tambahan. Sebenarnya bukan salah laptop sebagai hadiah, tapi penempatan cerita laptop setelah Markus mau uangnya ditukar dengan pemasangan listrik. Kalau ide saya mungkin begini : Markus menerima hadiah laptop dan uang tunai, tapi dia merasa bingung untuk menggunakan laptop itu karena rumahnya belum punya listrik. Sehingga muncul ide dari Markus untuk mengganti hadiah utamanya dari uang tunai menjadi biaya pemasangan listrik dan akhirnya laptop itu bisa digunakan. Soalnya ketika laptop muncul, adegannya menjadi tanggung.

Over all,  saya suka jalan cerita yang disajikan, selain karena mengangkat masalah listrik yang masih menjadi perhatian karena belum benar-benar menyeluruh, film ini juga secara tidak sadar menghadirkan beberapa hal yang buat saya rindu liburan di kampung. Misalnya, kegiatan cabut rumput, lalu duduk dekat tungku api, setrika pakai setrika arang. Hal-hal ini biasanya saya temukan kalau ke beberapa daerah yang cukup terpencil. Narasi yang disampaikan oleh Markus setelah listrik masuk ke rumah, lalu gambar bahagia orangtuanya yang mendengarkan radio dan berita soal anaknya, begitu pas untuk saya. Penggunaan bahasa daerah (bahasa dawan) dalam film ini menurut saya adalah salah satu bentuk memperkenalkan sebuah kebudayaaan Timor secara lebih luas.

POSTER FILM INI BAGUS SEKALI, KELAS!

Sekali lagi, saya mau ucapkan terima kasih untuk teman-teman Kefamenanu yang sudah punya semangat tinggi untuk ikut bersuara mengenai masalah yang ada di daerah ini. Terima kasih karena kalian sudah mau berpartisipasi untuk berkarya dan ikut mengambil bagian dalam dunia sinematografi.

Sukses terus!

Nah temans, sekian review dari saya. Semoga kalian suka dengan hasilnya. Jangan lupa dibaca, komen dan share ke seluruh sosial media yang kamu punya. Klik tombol subscribe di home dan kalian akan dapat notifikasi setiap saya update.

Salam sayang,
Meylisa Sahan (@akumeylisa)

Comments

  1. Moga film ini masuk nominasi lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Film ini keluar akhir tahun 2018, sepertinya sudah selesai lombanya. Saya cukup terlambat untuk me-review film ini.

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment